أصول السنة
الإِمَمْ أبي بكر الحميدي رحمه الله
Imam Al-Humaidi Rahimahullah berkata:
[Iman Kepada Takdir]
السُّنَّةُ عِنْدَنَا: أَنْ يُؤْمِنَ الرَّجُلُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِهِ ، حُلْوِهِ وَمُرِّهِ ، وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَـمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَـمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ، وَأَنَّ ذَلِكَ كُلُّهُ قَضَاءٌ مِنَ اللهِ ـ عَزَّوَجَلَّ ـ
As-Sunnah (aqidah) menurut kami (ahli hadits) adalah seseorang beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, dan meyakini bahwa apa yang akan menimpanya tidak akan meleset dan apa yang meleset darinya tidak akan menimpanya. Semua itu adalah takdir Allah Azza wa Jalla.
[Iman Ucapan dan Perbuatan yang Bisa Bertambah dan Berkurang]
وَأَنَّ الْإِيـْمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيْدُ وَيَنْقُصُ، وَلَا يَنْفَعُ قَوْلٌ إِلَّا بِعَمَلٍ، وَلَا عَمَلٌ وَقَوْلٌ إِلَّا بِنِيَّةٍ، وَلَا قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنَيَّةٌ إِلَّا بِسُنَّةٍ.
Iman adalah ucapan dan perbuatan yang bisa bertambah dan berkurang, dan ucapan tidak bermanfaat tanpa perbuatan. Perbuatan dan ucapan tidak bermanfaat tanpa niat. Tidak bermanfaat ucapan, perbuatan, dan niat kecuali dengan As-Sunnah (aqidah yang benar).
[Memuji Seluruh Shahabat]
وَالتَّرَحُّمُ عَلَى أَصْحَابِ مـُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلْيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّهُمْ ، فَإِنَّ اللهَ ـ عَزَّوَجَلَّ ـ قَالَ: {وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيـمَانِ} [الحشر: 10] فَلَنْ يُؤْمِنَ إِلَّا بِالإِسْتِغْفَارِ لَـهُمْ، فَمَنْ سَبَّهُمْ أَوْ تَنَقَّصَهُمْ أَوْ أَحَداً مِنْهُمْ فَلَيْسَ عَلَى السُّنَّةِ، وَلَيْسَ لَهُ فِي الْفَئِ حَقٌّ ، أَخْبَرَنَا بِذَلِكَ غَيْرِ وَاحِدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ أَنَّهُ قَالَ: “قَسَّمَ اللهُ ـ تَعَالَى ـ الفَئِ فَقَالَ: {لِلْفُقَرَاء الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيارِهِمْ} [الحشر: 8] ثُـمَّ قَالَ: {وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا} الآية [الحشر: 10] فَمَنْ لَـمْ يَقُلْ هَذَا لَـهُمْ فَلَيْسَ مِـمَّنْ جَعَلَ لَهُ الْفَئُ “.
(Wajib) mendoakan rahmat kepada semua Shahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.’” (QS. Al-Hasyr [59]: 10). Tidak sah keimanan kecuali meminta ampunan untuk mereka. Siapa yang mencaci mereka atau merendahkan seorang dari mereka maka dia bukan di atas As-Sunnah dan tidak mendapatkan harta fa’i (rampasan perang tanpa perlawanan) sedikitpun. Lebih dari satu orang mengabarkan kepada kami dari Malik bin Anas –rahimahullah– bahwa dia berkata, “Allah membagi fa’i dalam firman-Nya: ‘Fa’i untuk orang-orang miskin Muhajirin yang diusir dari kampung halamannya,’ (QS. Al-Hasyr [59]: 8) lalu Dia berfirman, ‘Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami,’ (QS. Al-Hasyr [59]: 10) hingga akhir ayat. Maka barangsiapa yang tidak mendoakan ini kepada mereka maka dia bukan termasuk orang yang mendapatkan harta fa’i.”
[Al-Qur’an Kalamullah]
والقُرآنُ : كَلَامُ اللهِ ، سَـمِعْتُ سُفْيَانَ [ بْنِ عُيَيْنَة ] يَقُوْلُ :” القُرْآنُ كَلَامُ اللهِ ، وَمَنْ قَالَ مَـخْلُوْقٌ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ، لَـمْ نَسْمَعْ أَحَدًا يَقُوْلُ هَذَا “
Al-Qur’an adalah Kalamullah. Aku mendengar Sufyan [bin Uyainah] berkata, “Al-Qur’an adalah Kalamullah dan siapa yang menyatakan bahwa ia makhluk maka dia seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) yang belum pernah kami dengar seorang pun (dari para ahli hadits) yang mengatakan ini.”
[Pendapat Sufyan tentang Iman]
وَسَـمِعْتُ سُفْيَانَ يَقُوْلُ: الإِيْـمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَيَزَيْدُ وَيَنْقُصُ”. فَقَالَ لَهُ اَخُوْهُ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ عُيَيْنَةَ :”ياَ أَبَا مُـحَمَّدٍ، لَا تَقُوْلْ يَنْقُصْ”. فَغَضِبَ وَقَالَ :”اُسْكُتْ يَا صَبِيُّ، بَلْ حَتىَ لَا يْبْقَى مِنْهُ شَيْءٌ”.
Aku mendengar Sufyan berkata, “Iman adalah ucapan (hati dan lisan) dan perbuatan yang bisa bertambah dan berkurang.” Saudaranya yang bernama Ibrahim bin Uyainah berkata, “Hai Abu Muhammad, jangan katakan berkurang.” Sufyan marah dan menjawab, “Diamlah wahai anak kecil, bahkan bisa sampai tidak tersisa sedikitpun.”
[Ru’yah di Hari Kiamat]
وَالْإِقْرَارُ بِالرُّؤْيَةِ بَعْدَ الْمَوْتِ .
(Wajib) menetapkan (meyakini) ru’yah (melihat Allah) setelah mati.
[Menetapkan Sifat Allah]
وَمَا نَطَقَ بِهِ الْقُرْآنُ وَالْـحَدِيْثُ مِثْلُ : {وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ} [ المائدة: 64] وَمِثْلُ: {وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَاتٌ بِيَمِيْنِهِ} [الزمر: 67] وَمَا أَشْبَهَ هَذَا مِنَ الْقُرْآنِ وَالْـحَدِيْثِ، لَا نَزِيْدُ فِيْهِ وَلَا نُفَسِّرهُ، نَقِفُ عَلىَ مَا وَقَفَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ وَالسُّنَّةُ، وَنَقُوْلُ: {الرَّحْمَنُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه :5] وَمَنْ زَعَمَ غِيْرِ هَذَا فَهُوَ مُعَطِّلٌ جَهْمِيٌّ .
(Juga meyakini) apa (sifat-sifat Allah) yang disebutkan Al-Qur’an dan hadits seperti firman Allah: ‘Orang Yahudi berkata bahwa tangan Allah terbelenggu, bahkan tangan-tangan mereka yang terbelenggu,’ (QS. Al-Maidah [5]: 64) juga firman-Nya: ‘Langit-langit dilipat dengan Tangan Kanan-Nya,’ (QS. Az-Zumar [39]: 67) dan nash yang semisal itu dari Al-Qur’an dan hadits maka kami tidak menambah-nambahnya dan tidak menafsirkannya (ke makna lain). Kami berhenti di atas pemberhentian Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kami katakan: ‘Ar-Rahman bersemayam di atas ‘Arsy,’ (QS. Thaha [39]: 67)dan siapa yang menyangka selain ini maka dia seorang ahli ta’thil dan Jahmiyah.
[Perbedaan Ahlus Sunnah dengan Khawarij]
وَأَنْ لَا نَقُوْلَ كَمَا قَالَتِ الْـخَوَارِجُ: “مَنْ أَصَابَ كَبَيْرَةً فَقَدْ كَفَرَ”. وَلَا تَكْفِيْرَ بِشَيْءٍ مِنَ الذُّنُوْبِ، وَإِنَّـمَا الْكُفْرُ فِي تَرْكِ الْـخَمْسِ الَّتِيْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلىَ خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَومِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ”.
Kami tidak sependapat dengan Khawarij, yaitu (pendapat mereka) siapa yang mengerjakan dosa besar maka dia kafir. Kami tidak mengkafirkan seseorang atas dosa-dosa besar tetapi kafir itu jika meninggalkan lima perkara yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Islam dibangun di atas lima hal, yaitu syahadat Laa Ilaaha Illallah dan Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.”
[Menyikapi Orang yang Meninggalkan 5 Rukun]
فَأَمَّا ثَلَاثٌ مِنْهَا فَلَا يُنَاظِرْ تَارِكَهُ: مَنْ لَـمْ يَتَشَهَّدْ، وَلَـمْ يَصَلِّ، وَلَـمْ يَصُمْ لِأَنَّهُ يُؤَخَّرَ شَيْءٌ مِنْ هَذَا عَنْ وَقْتِهِ، وَلَا يُـجْزِئُ مَنْ قَضَاهُ بَعْدُ تَفْرِيْطِهِ فِيْهِ عَامِداً عَنْ وَقْتِهِ.
فَأَمَّا الزَّكَاةُ فَمَتىَ مَا أَدَّاهَا أَجْزَأَتْ عَنْهُ وَكَانَ آثِـماً فِي الْـحَبْسِ.
وَأَمَّا الْـحَجُّ فَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ، وَوَجَدَ السَّبِيْلَ إَلَيْهِ وَجَبَ عَلَيْهِ وَلَا يَـجِبُ عَلَيْهِ فِي عَامِهِ ذَلِكَ حَتىَ لَا يَكُونُ لَهُ مِنْهُ بُدٌّ مَتىَ أَدَّاهُ كَانَ مُؤَدِّياً وَلَـمْ يَكُنْ آثِـماً فِي تَأْخِيْرِهِ إِذِا أَدَّاهُ كَمَا كَانَ آثِـماً فِي الزَّكَاةِ، لِأَنَّ الزَّكَاةَ حَقَّ لِمُسْلِمِيْنَ مَسَاكِيْنَ حَبَسَهُ عَلَيْهِمْ فَكَانَ آثِـماً حَتَّى وّصَلَ إِلَيْهِمْ، وأَمَّا الْـحَجُّ فَكَانَ فِي بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبَّهِ إِذَا أَدَّاهُ فَقَدْ أَدَى ، وَإِنْ هُوَ مَاتَ وَهُوَ وَاجِدٌ مُسْتَطِيْعٌ وَلَـمْ يُـحَجُّ سَأَلَ الرَّجَعَةَ إِلَى الدُّنْيَا أَنْ يَـحُجَّ وَيَـجِبُ لِأَهْلِهِ أَنْ يُـحَجُّوا عَنْهُ، وَنَرْجُوْ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ مَؤُدِّياً عَنْهُ كَمَا لَوْ كَانَ عَلَيْهِ دِيْنٌ فَقُضِيَ عَنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ.
Adapun tiga perkara pertama kami tidak perlu menggubrisnya yaitu orang yang tidak bersyahadat, tidak shalat, dan tidak berpuasa karena hal ini tidak boleh diakhirkan dari waktunya. Orang-orang yang meremehkan perkara ini dengan sengaja dari waktunya maka tidak sah qadhanya (penggantiannya).
Adapun zakat, maka jika dia telah menunaikannya maka sah dan dia berdosa jika menahannya.
Adapun haji, maka siapa yang sudah terpenuhi (syarat) wajibnya dan mampu menempuh perjalanannya maka haji wajib baginya. Haji tidak wajib baginya pada suatu tahun kecuali setelah kondisi mengharuskannya berhaji. Jika dia telah melaksanakannya maka telah sah hajinya. Dia tidak berdosa mengakhirkan hajinya selagi menunaikannya, tidak sebagaimana dia berdosa dalam zakat. Sebab zakat adalah hak kaum Muslimin yang miskin tetapi ia justru menahannya, maka ia berdosa hingga zakatnya sampai kepada mereka. Adapun haji, maka ia berkaitan antara dirinya dengan Allah. Jika dia telah menunaikannya maka telah sah. Apabila dia meninggal dalam keadaan mampu tetapi belum berhaji sementara dia memohon bisa kembali ke dunia untuk berhaji maka wajib bagi keluarganya untuk menghajikannya, dan kami berharap hal itu telah menggugurkannya, sebagaimana jika dia menanggung hutang setelah meninggalnya.
DOWNLOAD
atau atau atau
Download versi PDF dari Program BISA :
Catatan: Versi terjemah sudah diposting 8 tahun yang lalu di link ini, pada eBook ini kami sertakan pula biografi imam al-Humaidi -semoga Allah merahmatinya-