Ikhtilaf adalah perkara yang dibenci. Oleh karenanya, Alloh عزّوجلّ menyebutkan bahwa orang yang selamat dari ikhtilaf adalah orang yang Dia rahmati. Alloh سبحانه و تعالي berfirman:
وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلاَّ مَن رَّحِمَ رَبُّكَ
… dan mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu… (QS. Hud [11]: 118-119)
Rasulullah صلي الله عليه وسلم sangat tegas dalam memperingatkan umatnya dari perselisihan. Beliau bersabda:
لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
Janganlah kalian berselisih sehingga berselisihlah hati kalian. (Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud dan yang lainnya)
Adapun hadits populer yang sering diusung oleh para khatib dan muballigh:
إِخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Perselisihan umatku adalah rahmat.
… maka ini adalah hadits[2] yang lemah dengan kesepakatan para ahli hadits. Hadits ini juga mungkar karena menyelisihi nash-nash yang shahih tentang tercelanya perselisihan. Demikian juga para sahabat sangat tegas dalam membenci perselisihan:
Ali bin Abu Thalib رضي الله عنه berkata: “Sesungguhnya aku membenci perselisihan.” (Shahih Bukhari 3707).
Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه berkata: “Perselisihan adalah kejelekan.” (Sunan Abu Dawud 2628)
Para ulama menyebutkan bahwa ikhtilaf di kalangan sahabat yang merupakan generasi terbaik sedikit sekali dibandingkan ikhtilaf yang terjadi pada generasi-generasi berikutnya. Semakin banyak dosa yang dilakukan oleh kaum muslimin maka semakin banyak perselisihan di antara mereka disebabkan semakin berkurangnya rahmat Alloh kepada mereka.
Jika ikhtilaf dilarang dan dicela oleh Alloh, maka sangatlah tidak layak jika ada seseorang yang berargumen dengan adanya ikhtilaf dalam suatu masalah. Suatu misal, jika ada yang mengingatkan dia bahwa amalan yang dia lakukan tidak benar karena menyelisihi Sunnah, secara spontan dia berkata: “Bukankah dalam masalah ini ada ikhtilaf?!” Seakan-akan sekedar adanya ikhtilaf dalam suatu masalah cukup menjadi dalil yang membolehkan dia berbuat semaunya.
Seperti masalah qunut Shubuh, banyak kalangan menganggapnya sebagai masalah khilafiyah yang sudah biasa dan tidak perlu dibahas lagi, karena masalah qunut diperselisihkan oleh para ulama, maka pelakunya tidak boleh diingkari! Tidak layak bagi seorang muslim menjadikan ikhtilaf para ulama sebagai hujjah dalam masalah syar’i. Karena, hujjah dalam masalah syar’i adalah Kitabullah, Sunnah, dan Ijma’. Alloh memerintahkan agar mengembalikan setiap perselisihan kepada Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
… maka jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian… (QS. an-Nisa’ [4]: 59)
Al-Imam al-Khaththabi berkata: “Ikhtilaf bukanlah suatu hujjah, dan penjelasan Sunnah adalah hujjah atas orang-orang yang berselisih dari orang-orang terdahulu hingga orang-orang belakangan.” (A’lamul Hadits 3/2092)
Al-Imam asy-Syathibi berkata: “Sesungguhnya perkara ini telah melampaui batas, sehingga jadilah ikhtilaf dalam suatu masalah digolongkan sebagai hujjah bagi bolehnya perbuatan tersebut … kadang-kadang terjadi suatu fatwa yang melarang suatu masalah, kemudian dikatakan kepada orang berfatwa tersebut: ‘Mengapa engkau melarangnya, sedangkan masalah ini diperselisihkan?!’ Maka ikhtilaf dijadikan sebagai hujjah untuk membolehkan dengan sekedar argumen bahwa masalah tersebut diperselisihkan, bukan dengan dalil yang mendukung pendapat yang membolehkan…” (al-Muwafaqat 4/141)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak boleh bagi seorang pun berargumen dengan perkataan seseorang dalam masalah-masalah yang diperselisihkan, karena sesungguhnya hujjah yang benar adalah nash dan ijma’ (Majmu Fatawa 26/202)
Alhasil, kewajiban seorang muslim di dalam setiap ikhtilaf adalah berusaha mengikuti al-haq dengan dalilnya dan tidak bergantung kepada adanya ikhtilaf untuk melegalisir kekeliruannya.
Tulisan Terkait:
Mencari-cari Keringanan adalah Awal Kehancuran
Ikhtilaf Ulama: Sebab dan Sikap Kita Terhadapnya