Nama eBook: Hukum Meninggalkan Syari’at Islam
Penulis: Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron حفظه الله
الحمد لله رب العالمين، والعاقبة للمتقين، والصلاة والسلام على إمام المرسلين، نبينامحمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد:
Menurut hukum asal, kaum muslimin hendaknya mengerjakan semua perintah Alloh ‘Azza wa Jalla dan meninggalkan semua larangan-Nya:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (QS. al-Hasyr [59]: 7)
Di dalam mengerjakan yang wajib dan sunnah, Alloh ‘Azza wa Jalla memberi keringanan kepada hamba-Nya sesuai dengan kemampuannya, karena mengerjakan yang wajib dan sunnah butuh tenaga dan fasilitas. Berbeda halnya dengan meninggalkan larangan, tanpa ada beban semisal mengerjakan yang wajib dan yang sunnah.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertaqwalah kamu kepada Alloh menurut kesanggupanmu. (QS. at-Taghabun [64]: 16)
Selanjutnya, orang meninggalkan syariat Islam ialah lantaran beberapa sebab, antara lain:
- Karena tidak tahu atau keliru
Orang yang tidak tahu, tidaklah dia berdosa; hanya saja diwajibkan baginya menuntut ilmu dan bertanya kepada ulama Sunnah.
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmujika kamu tiada mengetahui. (QS. al-Anbiya [21]: 7)
- Karena lupa
Orang yang lupa mengerjakan yang wajib, tidaklah dia berdosa karena kelupaannya, akan tetapi bukan berarti gugur kewajibannya. Adapun dalil dua kaidah ini kembali kepada firman-Nya:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. (QS. al-Baqarah [2]: 286)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Yang nampak bagiku –Wallohu A’lam-sesungguhnya orang yang lupa dan keliru, dia dimaafkan. Karena per-buatan dosa ada kaitannya dengan niat dan kesengajaan, sedangkan orang lupa dan keliru tidaklah dia bermaksud untuk melanggarnya, lantaran itu dia tidak berdosa.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam 2/369, Risalah fil Qawaidil Fiqhiyyah 64)
- Karena terpaksa dan tidak mampu menolaknya
Berdasarkan firman Alloh ‘Azza wa Jalla:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS. al-Baqarah [2]: 173)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Adapun hukum orang yang dipaksa ada dua macam: Pertama, yang dipaksa’ dan tidak punya kemampuan untuk menolaknya, seperti orang dibawa dengan paksa lalu dimasukkan pada suatu tempat yang ia tidak mampu mengelak, atau dipaksa agar memu-kul orang lain sehingga mati sedangkan dia tidak mampu mengelak, atau wanita yang ditidurkan lalu dizinai (diperkosa) sedangkan dia tidak mampu mengelak; maka perbuatan ini tidaklah berdosa sesuai dengan kesepakatan para ulama dan tidak tergolong pelanggaran oleh jumhur ulama…” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam 2/367, Risalah fil Qawaidil Fiqhiyyah 64)
Selanjutnya Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Adapun orang yang dipaksa agar berbicara tentang sesuatu, maka dia dimaafkan. Dia tidak berdosa atas perkataannya karena dipaksa. Sedangkan bila dipaksa untuk berbuat maka ulama berselisih pendapat.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam 2/370-371, Risalah fil Qawaidil Fiqhiyyah 65)
Paksaan ini hanya berlaku untuk perkataan dan perbuatan, sedangkan hati tidaklah bisa dipaksa. Oleh karena itu, ketika seseorang dipaksa agar berbuat sesuatu yang menyimpang dari Sunnah bila hatinya merasa ridha maka dia berdosa, jika tidak ridha maka tidaklah berdosa. Wallohu A’lam.[1]
- Karena mendustakannya (kufur takdzib)
Maksudnya, dia tahu kebenaran Islam tetapi dia mendustakannya. Maka pelakunya kafir, sebagaimana Alloh ‘Azza wa Jalla menjelaskan keberadaan Fir’aun dan kaumnya:
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ ظُلْماً وَعُلُوّاً فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. (QS. an-Naml [27]: 14)
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Akan tetapi bila dia juhud atau mengingkari suatu hukum karena tidak tahu atau salah di dalam berijtihad maka dia dimaafkan dan tidak tergolong orang kafir, seperti orang yang menyuruh keluarganya bila dia mati hendaknya jasadnya dibakar dan debunya diterbangkan karena takut siksaan Alloh ‘Azza wa Jalla sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Bukhari (6954), maka diampuni dosanya karena dia tidak tahu dan lantaran dia tidak mengingkari kekuasaan Alloh mampu mengembalikan jasadnya.” (Lihat at-Tabshir bi Qawaid at-Takfir 69-70)
- Karena enggan dan sombong (kufrul iba’ wal istikbar)
Maka orang ini kafir seperti Iblis. Dia tidaklah mengingkari perintah Alloh, akan tetapi dia enggan melaksanakan perintah. Firman Alloh ‘Azza wa Jalla:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongdn orang-orang yang kafir. (QS. al-Baqarah [2]: 34)
Orang Yahudi juga dikatakan kafir, bukan lantaran tidak percaya adanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi kareha mereka enggan mengikuti syariat-Nya. Firman-Nya:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءهُمْ
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. (QS. al-Baqarah [2]: 146)
Abu Thalib juga meyakini Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan Alloh tetapi enggan mengucapkan syahadat karena masih mengagungkan tuhan nenek moyang mereka.
Ayat ini juga membantah pendapat Murjiah yang menilai iman hanya keyakinan di hati.
- Karena menolak (kufrul i’radh)
Maksudnya, mereka menolak ajaran yang haq tanpa mendustakan dan tidak membenarkannya, tidak mau mendengarkan dan memahami Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak senang dan tidak benci. Orang ini adalah kafir. Firman-Nya:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنذِرُوا مُعْرِضُونَ
Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka. (QS. al-Ahqaf [46]: 3)
- Karena ragu-ragu (kufrus syakki)
Artinya, tidak memastikan atas. kebenaran ajaran Islam dan tidak pula mendustakannya, akan tetapi dia ragu ragu; maka orang ini juga disebut kafir, karena melanggar surat al-Baqarah [2]: 2.
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al Quraan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (QS. al-Baqarah [2]: 2)
Juga firman-Nya:
وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَى رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْراً مِّنْهَا مُنقَلَباً
Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu. (QS. al-Kahfi [18]: 36)
- Karena munafik (kufrun nifaq)
Orang munafik mendustakan Islam, namun bila bertemu dengan kaum muslimin mereka menampakkan keislaman dengan lisannya. Ini dinamakan nifaqul akbar.
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (QS. al-Munafiqun [63]: 3)[2]
- Karena menghina hukum Alloh atau menduga hukum manusia lebih baik
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Alloh karena menghinanya atau berkeyakinan bahwa hukum manusia lebih baik dan lebih bermanfaat, maka hukumnya kafir keluar dari agama Islam.” (Lihat at-Takfir wal Hukmu bi Ghairi Ma Anzala-Alloh oleh Ibnu Utsaimin, I’dad Abu Lauz, hal. 98)
- Karena tidak mampu atau mendapatkan ancaman
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Alloh tanpa bermaksud menghinanya, tidak berkeyakinan bahwa hukum manusia lebih baik dan lebih bermanfaat, akan tetapi berhukum kepada selainnya karena desakan undang-undang atau takut ancaman yang menimpa dirinya, maka dia telah berbuat zhalim, tidaklah dia kafir. Tentu tingkatan kezhalimannya berbeda sesuai dengan undang-undang yang diterapkan dan sarananya.” (Lihat at-Takfir hal. 98).
[1] Adapun dalil lain dari tiga kaidah ini ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Alloh mengampuni umatku karena keliru, lupa, dan karena dipaksa. (HR. Ibnu Majah 2033, al-Baihaqi 7/356, al-Hakim 2/198, Ibnu Hibban 7219, bersumber dari Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu; dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’ 82).
[2] Untuk nomor 4 s.d. 8, lihat kitab at-Tabsyir bi Qawaid at-Takfir oleh Ali Hasan (65-69); Madarijus Salikin 1/337-338.